POLITIK-Arab Saudi membebaskan dua aktivis perempuan yang telah ditahan hampir tiga tahun. Kebebasan keduanya mendapatkan sambutan dari sejumlah organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) dunia.
Kabar pembebasan itu disampaikan kelompok hak asasi Saudi yang berbasis di London, ALQST, Minggu (27/6). ALQST menyebutkan dua aktivis perempuan itu, Samar Badawi dan Nassima al-Sadah, dibebaskan setelah menjalani hukuman.
Baca: Bisnis Trump-MNC Land Pernah Terganjal Kesepakatan dengan Korea Selatan
Seperti dilansir Reuters, Samar Badawi dan Nassima al-Sadah ditahan pada Juli 2018, bersama sejumlah aktivis lainnya. Karena dicurigai merugikan kepentingan Saudi. Pemerintah Saudi belum menanggapi pembebasan tersebut. Pembebasan mereka menyusul aktivis terkemuka Loujain al-Hathloul pada Februari lalu. Dia telah menjalani setengah dari hukuman penjaranya (1.001 hari) atas tuduhan kejahatan dunia maya dan kontraterorisme. Namun demikian, dia masih menghadapi larangan perjalanan lima tahun.
Human Rights Watch menyambut baik laporan ALQST tentang pembebasan Badawi dan Sadah.
“Perempuan pemberani ini seharusnya tidak pernah ditahan sejak awal. Mereka seharusnya dihargai karena memimpin perubahan di Arab Saudi,” kata Human Rights Watch lewat Twitter
Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Adam Coogle menilai, tidak seharusnya dua aktivis itu dipenjara. “Sejak awal pantas mendapatkan keadilan (dan) kompensasi atas penahanan sewenang-wenang mereka,” katanya.
Pandangan itu juga digaungkan oleh Amnesty International. Mereka meminta Raja Saudi Salman untuk menghapus laranganperjalanan Nassima, Samar, dan semua aktivis lainnya.
Beberapa aktivis yang dibebaskan dan anggota keluarga mereka dilarang meninggalkanArab Saudi, dalam hukuman kolektif. Apalagi mantan suami Badawi menjalani hukumanpenjara 15 tahun karena menyuarakan HAM. Saudara laki-lakinya, Raif Badawi, seorang blogger terkemuka, menjalani hukuman 10 tahun atas tuduhan menghina Islam dan kejahatan dunia maya.
Badawi menerima Penghargaan Keberanian Wanita Internasional Amerika Serikat pada 2012 karena menantang sistem perwalian laki-laki Saudi. Dia menandatangani petisi yang menyerukan Pemerintah untuk mengizinkan perempuan mengemudi dan memilih dan mencalonkan diri dalam pemilihan lokal.
Sementara Sadah, dari provinsi Qatif yang mayoritas Syiah, juga telah berkampanye untuk menghapuskan sistem perwalian.
Aktivis hak-hak perempuan itu ditahan, sebelum dan sesudah kerajaan pada 2018 mencabut larangan mengemudi perempuan sebagai bagian dari reformasi sosial.
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden telah mengambil sikap keras atas catatan HAM Arab Saudi. Salah satunya, terkait isu pembunuhan tokoh terkemuka jurnalis Jamal Khashoggi di Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki, pada Oktober 2018.
Washington pada Februari merilis laporan intelijen yang melibatkan penguasa de facto Putra Mahkota Mohammed bin Salman dalam pembunuhan Khashoggi. Namun pangeran menyangkal keterlibatan apa pun.
Perempuan Arab Saudi yang tak memiliki pasangan kini diperbolehkan tinggal sendiri tanpa perlu ada izin dari wali laki-lakinya. Kebijakan ini bagian dari serangkaian tindakan pemerintah Saudi yang ingin memberikan otonomi lebih besar kepada perempuan.
Surat kabar Makkah melaporkan, seperti dikutip dari The New Arab pada Ahad 13 Juni 2021, wali laki-laki tidak lagi dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap perempuan di bawah perwaliannya yang memilih untuk hidup sendiri. Hal ini berlaku setelah sebuah pasal dalam undang-undang “ketidakhadiran” dihapus.
Sebaliknya, wanita yang belum menikah dan janda dibolehkan hidup sendiri tanpa izin wali mereka, peran yang dapat dipegang oleh ayah, saudara laki-laki, atau bahkan anak laki-laki wanita tersebut.
Surat kabar Makkah memuji perubahan itu, dengan mengatakan langkah ini memberi perempuan kebebasan yang lebih besar dan membuka jalan untuk menekan wali laki-laki yang diduga mengeksploitasi hukum.
Perkembangan ini dianggap sebagai bagian dari Visi 2030 Pangeran Saudi Mohamed bin Salman untuk meliberalisasi kerajaan dan mengawasi langkah-langkah dalam hak-hak perempuan. (*)